Negara-negara Indonesia Sebelum Merdeka

5:24 PM Unknown 0 Comments

Pada abad XIV dan XV dua Negara besar yang mendominasi pada periode itu yaitu Majapahit di Jawa Timur dan Malaka di Malaya, Majapahit adalah Negara terbesar diantara Negara-negara yang ada di Indonesia sebelum datangnya Islam, Malaka mungkin merupakan kerajaan yang terbesar diantara kerajaan-kerajaan yang menganut agama islam. Keduanya melambangkan zaman peralihan di Indonesia pada abad tersebut.

Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan. (id.Wikipedia.org)
Sebelum membahas Majapahit dan Malaka, alangkah baiknya apabila kita terlebih dahulu membicarakan ciri-ciri umum dari Negara-negara yang ada di Indonesia sebelum masa penjajahan, tampak jelas bahwa ciri-ciri umum tertentu dari Negara yang ada di Indonesia tidaklah berubah selama beberapa abad. Khususnya, kondisi tanah dan iklim di daerah tersebut menciptakan pengaruh penting, bukan hanya terhadap pertanian dan perdagangan, melainkan juga terhadap formasi Negara.

Kesultanan Malaka pada abad ke-15.
Jawa mampunyai sederetan gunung berapi yang berjajar dari timur ke barat di sepanjang pulau itu. Gunung-gunung dan dataran-dataran tinggi lainnya membantu memisahkan wilayah pedalaman menjadi kawasan-kawasan yang relatif terpencil yang sangat cocok bagi persawahan. Daerah-daerah padi di jawa itu merupakan salah satu yang terkaya di dunia. Jalur-jalur perhubungan utama di jawa adalah sungai-sungai yang sebagian besarnya relatif pendek-pendek. Sungai-sungai yang paling cocok untuk hubungan jarak jauh hanyalah sungai brantas dan bengawan solo, dan tidak mengherankan apabila lembah-lembah kedua sungai tersebut menjadi pusat-pusat kerajaan besar.

Pulau jawa terdiri atas kelompok-kelompok penduduk yang relatif terpisah satu sama lainnya. Penduduk jawa pada abad tersebut tidak diketahui, namun beberapa sumber menyebutkan penduduk Jawa saat itu kira-kira lima juta pada abad XIII, namun dengan ukuran abad XXI Jawa tetap berpenduduk sangat jarang, sehingga banyak daerah yang tidak berpenduduk. Hal ini menyebabkan setiap kerajaan besar di wilayah pedalaman Jawa memerlukan suatu bentuk kekuasaan pusat atas daerah terpencil semacam itu. Kerajaan-kerajaan di Jawa pada dasarnya adalah kerajaan-kerajaan pedalaman, karena kesulitan-kesulitan perhubungan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perdagangan luar negeri bukanlah kegiatan utama kerajaan pedalaman seperti itu.

Keadaan pulau di luar Jawa, Negara-negara terbentuk dalam kondisi fisik yang agak berbeda, disini juga sebagian besar permukaan tanah terdiri atas gunung-gunung, dataran-dataran rendah, dan hutan belantara, sedangkan banyak daerah pantai merupakan rawa-rawa. Sebagian besar Negara-negara terbentuk di daerah-daerah pantai yang sangat cocok untuk pertanian padi. Fokus Negara-negara seperti itu diarahkan pada wilayah-wilayah pedalaman sejauh ada bahan pangan atau hasil perdagangan penting yang dapat diperoleh disitu seperti, emas, lada dan lain-lain.

Di seluruh nusantara, para pedagang memperjual-belikan beras, lada, dan tekstil dalam jumlah yang besar. Pulau jawa merupakan penghasil beras terbesar di Asia Tenggara sampai abad XIX, sedangkan Sumatera adalah eksportir lada. Para pedagang asing datang ke Indonesia khususnya untuk mendapatkan hasil-hasil hutan yang bernilai tinggi, seperti kamper, cendana, serta emas dari Sumatera dan Kalimantan Barat. Terutama, mereka memburu lada dari Indonesia bagian barat, serta cengkeh, pala, dan bunga pala dari Maluku. Jawa dipandang sebagai masyarakat hidrolis yang didasarkan pada pertanian sawah, sedangkan Negara-negara luar Jawa sebagai kawasan-kawasan yang terutama tergantung pada perdagangan luar negeri.

Akan tetapi stereotip ini tidak sepenuhnya memuaskan. Negara-negara luar Jawa biasanya tergantung pada pertanian sawah untuk menghidupi rakyat mereka, sekalipun benar bahwa sebagian dari Negara-negara terbesar seperti Malaka, Aceh, Banten, dan Gowa, menghidupi rakyat mereka terutama dengan beras yang diimpor dari pesisir utara Jawa. Perbedaan pokok antara kedua jenis Negara tersebut adalah arah kegiatan-kegiatan yang dipengaruhi oleh keadaan alamnya ; diluar Jawa adalah keluar, sedangkan di jawa ke dalam.

Kondisi ekonomi dan politik di seluruh nusantara pra-kolonial memiliki banyak kesamaan. Di semua daerah, jumlah penduduknya sangat terbatas, dan oleh karenanya merupakan basis yang terbatas pula bagi perpajakan dan sumber daya manusia untuk penanaman padi dan pembentukan tentara. Oleh karena itulah kadang-kadang salah satu tujuan perang adalah memindahkan penduduk dari daerah yang ditaklukkan ke wilayah pihak yang menang. Terisolasinya wilayah yang berpenduduk dan buruknya komunikasi menyebabkan sulitnya penyelenggaraan kekuasaan terpusat atas beberapa wilayah yang berpenduduk. Di Jawa, cara pemecahannya adalah dengan menerapkan sistem kerajaan terbatas, dengan pemberian otonomi yang luas kepada para penguasa lokal. Sama halnya, kerajaan-kerajaan luar Jawa seringkali terpaksa harus memberi otonomi yang luas kepada para vassal mereka. Oleh karena itu, selalu timbul ketegangan-ketegangan di dalam Negara-negara yang besar sebagai akibat terjadinya benturan antara kepentingan pusat dengan kepentingan daerah.

Seorang penguasa pusat mempunyai tiga teknik utama yang dapat digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya. Pertama, dia dapat memberi otonomi yang cukup luas dan keuntungan-keuntungan langsung yang berbentuk kekayaan, martabat, dan perlindungan kepada penguasa daerah dan lawan-lawan lain yang potensial, seperti para pangeran dan pimpinan daerah, sebagai imbalan bagi dukungan mereka kepadanya. Kedua, dia dapat memelihara kultur kebesaran mengenai dirinya dan istananya yang mencerminkan kekuatan-kekuatan gaib yang mendukung dirinya. Ketiga, dan yang paling penting diantara semua teknik, dia harus memiliki kekuatan militer untuk menghancurkan setiap oposisi. Semua Negara di Indonesia prakolonial didirikan pada akhirnya atas kekuatan militer yang tangguh.

Di wilayah ini terdapat dua kerajaan besar pada XIV dan XV yakni, Majapahit dan Malaka. Majapahit adalah Negara Hindu-Budha. Beberapa sumber yang merupakan prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuno, naskah Desawarnan atau Negara- Kertagama berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada tahun 1365, dikenal hanya dalam manuskrip-manuskrip yang lebih kemudian, naskah Paraton berbahasa Jawa Pertengahan. Semua ini terdapat pada zaman tersebut.

Penguasa Majapahit antara lain Kertarajasa Jayawhardana memerintah pada tahun 1294 sampai dengan 1309, Jayanegara memerintah pada tahun 1309 sampai dengan 1328, setelah itu ratu Tribhuana Wijayottungga Dewi memerintah pada tahun 1328 sampai dengan 1350, Rajasanagara atau yang populer dengan nama Hayam Wuruk memerintah pada tahun 1350 sampai dengan 1389. Masa pemerintahan Hayam Wuruk merupakan zaman keemasan kerajaan Majapahit, serta Desawarnana ditulis pada pemerintahannya juga. Selanjutnya pada tahun 1389 sampai dengan 1429 raja Wikramawarna memerintah, setelah raja ini digantikan oleh Ratu Suhita yang memerintah dari tahun 1429 sampai dengan 1447.

Wijayaparakramawardhana memerintah dari tahun 1447 sampai dengan 1451, dan berikutnya Rajasawardhana yang memerintah 1451 sampai dengan 1453. setelah pemerintahan yang terakhir ini selama tiga tahun Majapahit mengalami kekosongan kursi kerajaan yang diakibatkan oleh krisis suksesi. Namun pada tahun 1456 sampai dengan 1466 Girisawardhana menduduki kursi sebagai raja, setelah itu Singhawikramawardhana memerintah dari tahun 1466 sampai dengan 1478.

Hubungan dagang kerajaan Majapahit menghubungkan daerah-daerah yang merupakan kekuasaannya, bagi mereka perdagangan ini juga menjadi monopoli raja. Jadi, Majapahit merupakan Negara dan sekaligus pada waktu yang sama, Negara perdagangan. Pada tahun 1343, Majapahit menaklukkan Bali, serta mengirim suatu ekspedisi untuk menghukum Palembang di Sumatera. Majapahit juga mempunyai hubungan erat dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, serta mengirim duta-dutanya ke Cina.

Akhir abad XIV dan awal abad XV, pengaruh kerajaan Majapahit mulai berkurang, pada waktu yang sama, berdiri suatu Negara perdagangan melayu yang baru di nusantara bagian barat yaitu Malaka. Seorang pangeran dari Palembang bernama Parameswara berhasil meloloskan diri sewaktu terjadi serangan Majapahit pada tahun 1377 dan akhirnya tiba di Malaka kirar-kira tahun 1400. Ditempat ini dia menemui pelabuhan yang baik, yang dapat dirapati kapal-kapal di segala musim dan terletak di bagian paling sempit dari Selat Malaka. Dengan bersekutu dengan orang laut seperti perompak-perompak pengembara di Selat Malaka, dia berhasil membuat Malaka menjadi suatu pelabuhan internasional yang besar dengan cara memaksa kapal-kapal yang lewat untuk singgah di pelabuhannya serta memberi fasilitas-fasilitas yang cukup baik dan dapat dipercaya bagi pergudangan dan perdagangan.

Malaka mungkin merupakan contoh yang paling murni dari Negara pelabuhan transito Indonesia, karena Negara ini tidak memiliki hasil-hasil sendiri yang penting, Negara ini harus mengimpor bahan pangan untuk menghidupi rakyatnya. Malaka dengan cepat menjadi suatu pelabuhan yang sangat berhasil, karena Negara ini dapat menguasai Selat Malaka, salah satu trayek yang paling menentukan dalam sistem perdagangan internasional yang membentang dari Cina dan Maluku di timur sampai Afrika timur dan laut tengah di barat.

Negara ini mendapat perlindungan dari Cina sejak tahun 1405, sehingga mereka berulangkali mengirim duta-dutanya ke Cina. Juga sebaliknya Cina mengirim armada besar-besaran mengunjungi Malaka dibawah pimpinan Admiral Dinasti Ming, yang bernama Zheng He (atau yang populer di Indonesia akhir-akhir ini dengan nama Laksamana Cheng Ho), yang terus berlanjut sampai tahun 1434. Perlindungan nyata dari Cina ini telah membantu Malaka untuk berdiri kokoh.

Awalnya Parameswara adalah seorang raja yang beragama Hindu-Budha, tetapi tentu dia telah memaksa dan menganjurkan supaya para pedagang yang beragama Islam menggunakan pelabuhannya. Pada masa akhir pemerintahannya (1390-1413/14), dia menganut agama Islam dan memakai nama Iskandar Syah. Para penggantinya, Megat Iskandar Syah yang memerintah dari 1414 sampai dengan 1123/24 dan Muhammad Syah memerintah dari tahun 1424 sampai dengan 1444, mereka beragama Islam. Raja selanjutnya Parameswara Dewa Syah yang tidak lama memimpin Malaka karena terjadi kudeta di dalam kerajaan, dan digantikan oleh saudara sepupunya, Sultan Muzaffar Syah yang memerintah pada tahun 1446 sampai dengan tahun 1459.

Perdagangan Malaka menyebar luas sampai ke pulau-pulau di Indonesia, bahkan sampai berhubungan ke barat sampai India, Persia, Arabia, Suriah, Afrika Timur, dan laut tengah, ke utara sampai Siam dan Pegu, serta ke timur sampai Cina dan Jepang. Ini merupakan perdagangan yang terbesar di dunia pada masa itu, dan dua tempat pertukarannya yang penting adalah Guharat di India. Hasil yang paling berharga untuk diperdagangkan dari Indonesia adalah rempah-rempah.

Oleh : Hendri Ansori

Sumber: http://www.hendria.com

0 comments: