Neraka Hitler

6:34 PM Unknown 0 Comments

Hitler tak mau belajar dari sejarah. Di Stalingrad, pasukannya mengulangi kekalahan Napoleon Bonaparte saat menginvasi Rusia lebih seabad sebelumnya.

Suatu tempat di barat Rusia, 129 tahun pasca-invasi Napoleon Bonaparte ke negeri itu. Suasana tak begitu berbeda dari hari-hari sebelumnya. Serdadu Tentara Merah di pos perbatasan tetap berjaga seperti biasa hingga sesuatu yang ganjil terjadi sekitar pukul 03.30 tanggal 22 Juni.

“Beberapa saat sebelum subuh 22 Juni 1941, serdadu patroli dan pos jaga terluar front barat Uni Soviet mencatat ada sesuatu yang janggal terjadi di langit. Bintang-bintang aneh terlihat di kejauhan, melintasi wilayah-wilayah Polandia yang telah direbut Nazi, menerangi garis langit sebelah barat,” tulis Sergei Smirnov dalam Heroes of Brest Fortress.

Para serdadu jaga Rusia itu tak menyangka bahwa “bintang aneh” yang mereka lihat adalah cahaya dari pesawat-pesawat Jerman.

Meski banyak mendapat penentangan, termasuk dari Jenderal Gerd von Rundstedt, Jerman melancarkan “Operasi Barbarossa”. “Dunia akan menahan nafas,” kata Hitler.

Menteri Luar Negeri Jerman Joachim von Ribbentrop pun seakan tak percaya Barbarossa benar-benar dilaksanakan. “Fuhrer benar-benar menyerang Rusia?” Ribbentrop terus meyakinkan dirinya, sebagaimana ditulis Antony Beevor dalam Stalingrad. September dua tahun sebelumnya ia menandatangani pakta tak saling serang bersama Menteri Luar Negeri Molotov, tapi Hitler tak mengindahkannya. Pasukan Jerman bergerak cepat ke tiga jurusan di timur.

Dalam waktu singkat, blitzkrieg Jerman membuahkan banyak hasil. Pada hari ke-17 serangan, di palagan tengah saja sekitar 300 ribu Tentara Merah ditawan. 2.500-an tank, lebih 1.000 senjata artileri, dan 250-an pesawat Rusia direbut atau dirusak.

Rusia terkejut namun pantang menyerah dan melakukan perlawanan. 3 Juli 1941 Stalin memberi pidato radio guna menyemangati rakyatnya. “Tentara Merah, Angkatan Laut dan seluruh warga negara Uni Soviet harus mempertahankan tiap inci wilayah Soviet, berjuang hingga tetes darah terakhir demi kota-kota kita dan warganya, harus mempertunjukkan karakter berani, ulet, dan enerjik rakyat kita,” kata Stalin dalam pidatonya sebagaimana diberitakan Pravda, 4 Juli 1941.

Moral pasukan Rusia terdongkrak. Gerak laju tentara Jerman tertahan. Terlebih ketika “General Winter” datang, jalan pun berlumpur dan jarak pandang minim; serdadu-serdadu Hitler yang kurang persiapan tak berdaya dibuatnya.

Titik balik pertempuran terjadi di Stalingrad (kini Volgograd), kota industri di selatan Rusia, setahun “Operasi Barbarossa” berjalan. Beberapa sejarawan percaya, Pertempuran Stalingrad semata-mata adalah adu gengsi antara Hitler dan Stalin karena nama kota itu mengacu pada nama Stalin. Alasan lain yang lebih masuk akal, Stalingrad penting dikuasai untuk memutus lalulintas Rusia utara dengan selatan yang kaya minyak. Hitler sangat membutuhkan Kaukasus, wilayah selatan Rusia, yang kaya minyak. Persediaan bahan bakar untuk mesin perangnya kian menipis. Pasokan dari sekutunya, Rumania, tak mencukupi.

Jerman sebetulnya dapat dengan mudah merebut Stalingrad. Namun Hitler melakukan blunder. Ketidakjelasan prioritas Hitler mengenai sasaran mana yang harus lebih dulu direbut, memecah kekuatan Jerman: ke Stalingrad dan Kaukasus. Dengan blunder itu, Hitler memberi waktu kepada jenderal-jenderal Stalin mempersiapkan pasukannya. Ketika memasuki palagan Stalingrad pada pertengahan September 1942, kualitas dan kuantitas serdadu Jerman sudah jauh menurun. Apalagi sudah banyak jenderalnya yang mengundurkan diri lantaran berbeda pendapat dengan Hitler. Bantuan serdadu dari sekutu-sekutu Jerman seperti Rumania, Hongaria, dan Italia jelas tak “mencukupi”: mutu dan persenjataannya tak sebaik serdadu-serdadu Jerman. Namun Jerman terus maju hingga ke tepi Sungai Wolga.

Sebaliknya, Rusia mengambil keuntungan dari keadaan itu. Stalin menunjuk Jenderal Georgi Zhukov untuk memimpin pertahanan Rusia di selatan dan pada tingkat lokal dia mempercayakan tongkat komando kepada Jenderal Vasily Chuikov. Rusia menjebak Jerman masuk ke dalam perang kota.

Baik Hitler maupun Stalin melarang serdadunya mundur. Pertempuran sengit pun pecah. Stalingrad berubah menjadi tempat pertempuran paling brutal dalam Perang Dunia II. “Perlindungan-perlindungan di sana meledak sepanjang front sejauh mata memandang,” kenang Marsekal Konstantin Rokossovsky, panglima Front Don, dalam memoarnya, A Soldier’s Duty. “Pesawat-pesawat musuh mendominasi udara, membombardir pasukan-pasukan kami dan, terutama, kota. Tiap serangan membuat Stalingrad tertutup asap.”

Namun, dalam pertempuran ini Rusialah tuan rumahnya. Rusia lebih tahu medan. Perlawanan gigih Tentara Merah yang didukung warga kota, membuat frustasi pasukan Jerman. Reruntuhan bangunan kota bukan saja menghalangi gerak maju pasukan Jerman, tapi juga menjadi benteng berharga orang-orang Rusia dalam menyerang balik. “Kami akan mempertahankan kota atau mati," kata Jenderal Chuikov.

Pada 19 November 1942, Rusia melancarkan balasan (Operasi Uranus), yang dipersiapkan secara matang. Dengan melibatkan lebih dari satu juta serdadu plus 14.000 senjata artileri, 1.000 tank T-34, dan 1.350 pesawat, Zhukov ingin membuat serangan kejutan yang masif. Dan serangan itu pun sukses. Jerman telat merespon. Tapi Hitler tetap menolak pasukannya mundur. Bombardir terus dilakukan Tentara Merah. Jerman pun berada dalam posisi defensif.

“Di beberapa sektor, serangan-serangan artileri dan udara kami berhasil menetralisir pertahanan Jerman,” kenang Rokossovsky.

Hitler mencoba memberi bala bantuan dengan memindahkan Grup Tentara A yang berkedudukan di utara ke selatan tapi tak membantu. Serangan Rusia jauh lebih cepat. Setelah bertahan mati-matian, Jerman menyerah pada 2 Februari 1943.

“Kebanggaan terbesar seorang serdadu adalah kenyataan bahwa dirinya telah ikut membantu rakyatnya mengatasi musuh, menegakkan kemerdekaan negerinya, dan membawa kedamaian,” tulis Rokossovsky. [M.F. Mukthi]

Sumber: http://majalah-historia.com

0 comments: